Minggu, 14 Juni 2009

Abu Bakar Ash-Shiddiq (3)

Sebelum mendapatkan kedudukan yang agung sebagai Khalifah, ia sudah terbiasa memerah susu
kambing milik orang-orang sekampungnya. Suatu ketika, waktu ia sedang berjalan di sebuah jalan di
kota Madina, didengarnya seorang anak perempuan berkata, "Sekarang dia sudah jadi Khalifah, dan
sejak saat ini dia tidak akan memerah susu kambing-kambing kita lagi." Sekejap itu juga beliau
menjawab, "Tidak anakku, tentu saja saya akan memerah susu sebagaimana biasanya. Saya harap
dengan rahmat Allah, kedudukan saya tidak akan mengubah kerja sehari-hari saya." Ia sangat
mencintai anak-anak, dan mereka suka memeluk dan memanggilnya dengan sebutan Baba (Ayah).
Seorang wanita miskin tinggal di luar kot Madina. Sekali-sekali Umar mengunjunginya untuk
mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Itu sudah berlangsung sejak lama. Tapi akhir-akhirnya,
setiap kali ia pergi ke sana, kepadanya bahwa seseorang lainnya telah mendahuluinya dalam tugas
tersebut. Umar jadi penasaran. Suatu ketika, pagi-pagi sekali, ia mengunjungi rumah orang
perempuan miskin itu dan bersembunyi di suatu sudut untuk melihat siapa orangnya yang sering
datang pada waktu yang bersamaan itu. Beliau kaget melihat bahwa orang tersebut tidak lain adalah
Khalifah sendiri.
Abu Bakar orangnya cermat dalam mengambil uang bantuan dari Baitul Mal. Dia ambil secukupnya
saja untuk keperluan hidup minimal setiap hari. Pernah isterinya minta manisan tapi si suami tidak
punya uang lebih untuk membelinya. Untung, isterinya punya tabungan beberapa dirham selama dua
minggu, yang lalu diberikannya uang itu kepada suaminya untuk membeli manisan. Melihat uang itu,
Abu Bakar bilang terus terang kepada isterinya bahwa tabungannya itu telah membuatnya mengambil
uang melebihi dari jumlah yang mereka butuhkan. Lalu dikembalikan uang itu kepada Baitul Mal dan
dikurangi pengambilan uangnya di masa mendatang.
Abu Bakar senang sekali mengerjakan semua pekerjaan dengan tangannya sendiri, dan tidak pernah
mengizinkan siapa pun juga untuk ikut membantu melakukan pekerjaan rumah tangganya. Bahkan
seandainya tali kekang untanya terjatuh, ia tidak akan pernah meminta siapa pun untuk
mengambilnya. Ia lebih suka turun dri unta dan mengambilnya sendiri.
Apabila di hadapannya ada orang memujinya, dia berkata, "Ya Allah! Engkau lebih tahu akan diriku
daripada aku sendiri, dan aku mengetahui diriku sendiri lebih daripada orang-orang ini. Ampunilah
dosa-dosaku yang tidak mereka ketahui, dan janganlah mengakibatkan aku bertanggung jawab atas
puja-puji mereka itu."
Abu Bakar dikenal memiliki kebiasaan hidup sangat sederhana. Pada suatu hari, seorang putra
mahkota Yaman dalam pakaiannya yang mewah tiba di Madinah. Dilihatnya Abu Bakar hanya
mengenakan dua lembar kain warna cokelat, yang selembar menutupi pinggang dan yang selembar
lagi menutupi bagian badan lainnya. Putra mahkota itu begitu terharu melihat kesederhanaan Khalifat,
sehingga dia juga membuang pakaiannya yang indah itu. Dia berkat, "Di dalam Islam, saya tidak
menikmati kepalsuan seperti ini."
Pada waktu akhir perjalan hidupnya, Abu Bakar bertanya kepada petugas Baitul Mal, berapa jumlah
yang telah ia ambil sebagai uang tunjangan. Petugas memberitahu bahwa beliau telah mengambil
6.000 dirham selama dua setengah tahun kekhalifahan. Ia lalu memerintahkan agar tanah miliknya
dijual dan seluruh hasilnya diberikan kepada Baitul Mal. Amanatnya sebelum mangkat itu telah
dilaksanakan. Dan untuk seekor unta dan sepotong baju seharga seperempat rupee milik pribadinya,
ia amanatkan agar diberikan kepada khalifah baru setelah ia meninggal dunia. Ketika barang-barang
tersebut dibawa kepada yang berhak, Umar yang baru saja menerima jabatan sebagai khalifah
mengeluarkan air mata dan berkata, "Abu Bakar, engkau telah membuat tugas penggantimu menjadi
sangat sulit."
Pada malam sebelum meninggal, Abu Bakar bertanya pada putrinya, Aisyah, berapa jumlah kain yang
digunakan sebagai kain kafan Nabi. Aisyah menjawab, "Tiga." Seketika itu juga ia bilang bahwa dua
lembar yang masih melekat di badannya supaya dicuci, sedangkan satu lembar kekurangannya, yaitu
lembar ketiga, boleh dibeli. Dengan berurai air mata Aisyah berkat bahwa dia tidaklah sedemikian
miskinnya, sehingga tidak mampu membeli kain kafan untuk ayahnya. Khalifah menjawab, kain yang
baru lebih berguna bagi orang yang hidup daripada bagi orang meninggal.
Banyak penghargaan yang diberikan kepada Khalifah Abu Bakar tentang kepandaian dan kebaikan
hatinya. Baik kawan maupun lawan memuji kesetiaannya kepada agama baru itu, demikian pula
watak kesederhanaannya, kejujuran, dan integritas pribadinya. Jurji Zaidan, sejarawan Mesir
beragama Kristen menulis : "Zaman khalifah-khalifah yang alim adalah merupakan masa keemasan
Islam. Ketika Abu Bakar masuk Islam, ia memiliki 40.000 dirham, jumlah yang sangat besar pada
waktu itu, akan tetapi ia habiskan semua, termasuk uang yang diperolehnya dari perdagangan, demi
memajukan agama Islam. Ketika wafat, tidaklah ia memiliki apa-apa kecuali uang satu dinar. Ia biasa
berjalan kaki ke rumahnya di Sunh, di pinggiran Kota Madinah. Ia juga jarang sekali menunggangi
kudanya. Ia datang ke Madinah untuk memimpin sembahyang berjamaah dan kembali ke Sunh di
sore hari. Setiap hari Abu Bakar membeli dan menjual domba, dan mempunyai sedikit gembalaan
yang sesekali harus ia gembalakan sendiri. Sebelum menjadi khalifah, ia telah terbiasa memerah
susu domba milik kabilahnya, sehingga ketika ia menjadi khalifah, seorang budak anak perempuan
menyesalkan dombanya tidak ada yang memerah lagi. Abu Bakar kemudian meyakinkan anak
perempuan itu bahwa ia akan tetap memerah susu dombanya, dan martabat tidak akan mengubah
tingkah lakunya. Sebelum wafat ia memerintahkan menjual sebidang tanah miliknya dan hasil
penjualannya dikembalikan kepada masyarakat Muslim sebesar sejumlah uang yang telah ia ambil
dari masyarakat sebagai honorarium."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar